A. Pengertian Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara
berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik,
yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang
diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh
pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial
yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas
(1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua
bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan
pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan
menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi
ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi
antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan
linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran,
mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi
(meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat
pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan
semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik
sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai
bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan
pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
B. Interaksi dan Sopan Santun
Seperti telah dikatakan di awal bab ini, hal-hal di luar
bahasa mempengaruhi pemahaman kita pada hal di dalam bahasa. Untuk memahami apa
yang terjadi di dalam sebuah percakapan, misalnya, kita perlu mengetahui siapa
saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak sosial di antara
mereka, atau status relatif di anatara mereka. Marilah kita perhatikan
penggalan-penggalan percakapan berikut ini. (1) A: Setelah ini, kerjakan yang
lain. B: Baik, Bu. (2) C: Bantuin, dong! D: Sabar sedikit kenapa, sih? Sebagai
penutur bahasa Indonesia, Anda akan dengan mudah mengatakan bahwa di dalam
penggalan percakapan (1) status social A lebih tinggi dari B, sedangkan di
dalam penggalan percakapan (2) C dan D mempunyai kedudukan yang sama. Sebuah
interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat tertentu
terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santu. Bentuk sopan
santun dapat diungkapkan dengan berbagai hal. Salah satu penanda sopan santun
adalah penggunaan bentuk pronominal tertentu dalam percakapan. Di dalam bahasa
Indonesia kita jumpai anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak
bicara. Di dalam bahasa Prancis kita jumpai pembedaan kata tu dan vouz untuk
menyebut orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun adalah
pengungkapan suatu hal dengan cara tidak langsung. Contoh ketidaklangsungan
dapat kita lihat dalam penggalan percakapan berikut ini. (3) A: Hari ini ada
acara? B : Kenapa ? A : Kita makan-makan, yuk! B: Wah, terima kasih, deh. Saya
sedang banyak tugas! Di dalam penggalan percakapan di atas, B secara tidak
langsung menolak ajakan A untuk makan. B sama sekali tidak mengatakan kata
tidak. Akan tetapi, A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan B adalah sebuah
penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan oleh B bukanlah bentuk
penghargaan terhadap suatu pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus.
Hal ini juga diperkuat oleh kalimat yang diujarkan B selanjutnya. Di dalam
percakapan, ketidaklangsungan juga ditemukan dalam bentuk pra-urutan
(pre-sequences). Kita juga sering menemukannya dalam situasi sehari-hari. Di
dalam penggalan percakapan (3) di atas kita melihat pra-ajakan pada kalimat
pertama yang diucapkan oleh A. Di dalam penggalan percakapan (4) kita melihat
prapengumuman pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. (4) A: Sebelumnya
saya mohon maaf. B: Ada apa, Pak? A: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa.
Kita dapat melihat bahwa suatu hal yang diungkapkan dalam percakapan akan lebih
berterima jika ada semacam “pembuka” di dalamnya. Permohonan maaf dari A pada
contoh (4) di atas merupakan sebuah pengantar untuk penyampaian maksud yang
sebenarnya. Salah satu bentuk ketidaklangsungan dapat ditemukan di dalam mkasud
yang tersirat di dalam suatu ujaran. Di dalam hal ini, ketidaklangsungan
mensyaratkan kemampuan seseorang untuk menangkap maksud yang tersirat, misalnya
kita perhatikan contoh berikut. (5) A: Tong sampah sudah penuh. B: Tunggu, ya.
Aku baca Koran dulu. Nanti kubuang, deh ! Di dalam contoh di atas, A tidak
menyuruh B secara langsung untuk membuang sampah. Akan tetapi, B dapat
menangkap maksud yeng tersirta di dalam ujran A. dapat kita bayangkan bahwa
setelah B membaca Koran ia akan membuang sampah karena hal ini dapat kita
simpulkan dari jawaban B di atas. Jika B tidak peka terhadap maksud A, tentu
jawabannya akan berbeda. Bayangkan saja kalau B hanya menjawab, “Ya, betul.”
C. Implikatur Percakapan
Di dalam bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa di dalam
percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan
sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran ini disebut implikatur.
Pembicara di dalam percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan
denga situasi di dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh pendengarnya.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh
pembicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam
kajian pragmatic, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice (1975) menungkapkan
bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat
maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam
berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan
jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. a) Maksim
Kuantitas Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus
memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Kalimat (6) menunjukkan
kontribusi yang cukup kepada mitra tuturnya. Bandingkanlah dengan kalimat (7)
yang tersa berlebihan. (6) Anak gadis saya sekarang sudah punya pacar. (7) Anak
gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. Di dalam kalimat (7) kata gadis
sudah mencakup makan ‘perempuan’ sehingga kata perempuan dalam kalimat tersebut
memberikan kontribusi yang berlebih. Maksim kuantitas juga dipenuhi oleh apa
yang disebut pembatas, yang menunjukkan keterbatas penutur dalam mengungkapkan
informasi. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan di awal kalimat seperti
singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan sebagainya. b) Maksim
Kualitas Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal
yang sebenarnya. Misalnya, seorang mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya
mengatakan bahwa Kampus Baru Universitas Indonesia terletak di Depok., bukan
kota lain, kecuali jika ia benar-benar tidak tahu. Kadang kala, penutur tidak
merasa yakin dengan apa yang dinformasikannya. Ada cara untuk mengungkapkan keraguan
seperti itu tanpa harus menyalahi maksim kualitas. Seperti halnya maksim
kuantitas, pemenuhan maksim kualitas oleh ungkapan tertentu. Ungkapan di awal
kalimat seperti setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya,
menunjukkan pembatas yang memenuhi maksim kualitas. c) Maksim Relevansi
Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan kontribusi
yang relevan dengan situasi pembicaraan. Bandingkanlah penggalan percakapan (8)
dan (9) berikut ini. (8) A: Kamu mau minum apa? B: Yang hangat-hangat saja. (9)
C: Kamu mau minum apa? D : Sudah saya cuci kemarin. Di dalam penggalan
percakapan (8) kita dapat melihat bahwa B sudah mengungkapkan jawaban yang
relevan atas pertanyaan A. Di dalam penggalan percakapan (9), sebagai penutur
bahasa Indonesia kita dapat mengerti bahwa jawaban D bukanlah jawaban yang
relevan dengan pertanyaan C. Topik-topik yang berbeda di dalam sebuah
percakapan dapat menjdi relevan jika mempunyai kaitan. Di dalam hubungannya
dengan maksim relevansi, kaitan ini dapat dilihat sebagai pembatas.
Ungkapan-ungkapam di awal kalimat seperti Ngomong-ngomong…, Sambil lalu…, atau
By the way… merupakan pembatas yang memenuhi maksim relevansi. d) Maksim Cara
Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan
lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus
menfsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks
pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan percakapan (10) dan (11) (10)
A: Mau yang mana, komedi atau horor? B: Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih
bagus. (11) C: Mau yang mana, komedi atau horor? D: Sebetulnya yang drama bagus
sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua. Tapi ceritanya tidak jelas arahnya.
Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak mengerti. C: Jadi kamu pilih yang
mana? Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita dapat melihat bahwa
jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap
maksim cara dapat dilihat dari jawaban D. Untuk memenuhi maksim cara,
adakalanya kelugasan tidak selalubermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini
dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan
santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara dapat menyatakan ungkapan
seperti Bagaimana kalau…, Menurut saya… dan sebagainya.
D. Pelanggaran Terhadap Maksim Percakapan
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan
menimbulkan kesan yang janggal, kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi
yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit.
Kejanggalan inilah yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor. Ada berbagai
bentuk pelanggaran di dalam maksim-maksim percakapan. Tentu kita pun pernah
mengalami situasi yang janggal karena ada pembicara yang bertele-tele
menyampaikan maksudnya, ada kesalahpahaman, ketidaksinkronan, dan sebagainya.
Pengetahaun kita mengenai maksim-maksim di atas akan sangat membantu kita dalam
memahami situasi yang demikian.
E. Pertuturan
Di dalam pertuturan ada pertuturan lokusioner, pertuturan
ilokusioner, dan pertuturan perlokusioner. Pertuturan lokusioner adalah dasar
tindakan dalam suatu ujaran, atau pengungkapan bahasa. Di dalam pengungkapan
itu ada tindakan atau maksud yang menyertai ujaran tersebut, yang disebut
pertuturan ilokusioner. Pengungkapan bahasa tentunya mempunyai maksud, dan
maksud pengunkapan itu diharapkan mempunyai pengaruh. Pengaruh dari pertuturan
ilokusioner dan pertuturan lokusioner itulah yang disebut pertuturan
perlokusioner. Pertuturan ilokusioner bertujuan menghasilkan ujaran yang
dikenal dengan daya ilokusi ujaran. Dengan daya ilokusi, seorang penutur
menyampaikan amanatnya di dalam percakapan, kemudian amanat itu dipahami atau
ditanggapi oleh pendengar. Berdasarkan tujuannya, pertututan dapat
dikelompokkan seperti berikut ini. 1. Asertif, yang melibatkan penutur kepada
kebenaran atau kecocokan proposisi, misalnya menyatakan, menyarankan, dan
melaporkan. 2. Direktif, yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari
mitra tutur, misalnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan
mengingatkan. 3. Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat
selanjutnya, misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam. 4. Ekspresif, yang
memperlihatkan sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima kasih,
mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf. 5.
Deklaratif, yang menunjukkan perubahan setelah diujarkan, misalnya
membaptiskan, menceraikan, menikahkan, dan menyatakan.
F. Referensi dan Inferensi
Referensi adalah hubungan di antara unsur luar bahasa yang
ditunjuk oleh unsur bahasa dengan lambang yang dipakai untuk mewakili atau
menggambarkannya. Referensi di dalam kajian pragmatik merupakan cara merujuk
sesuatu melalui bentuk bahasa yang dipakai oleh penutur atau penulis untuk menyampaikan
sesuatu kepada mitra tutur atau pembaca. Berkaitan dengan referensi adalah
inferensi. Inferensi adalah pengetahuan tambahan yang dipakai oleh mitra tutur
atau pembaca untuk memahami apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit di
dalam ujaran. Untuk memahami referensi dan inferensi, mari kita perhatikan
kalimat-kalimat berikut ini. (1) Seseorang suka mendengarkan musik dangdut. (2)
Orang itu suka mendengarkan musik dangdut. (3) Orang suka mendengarkan musik
dangdut. Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita mengetahui bahwa seseorang
adalah ‘orang yang tidak dikenal’ dan orang itu adalah orang yang ada didekat
kita bicara. Kalimat (1) diatas mempunyai referensi tak takrif, artinya
referensi yang tidak tentu. Kalimat (2) mempunyai takrif, apa yang dirujuknya
jelas dan bertolak pada rujukan tertentu, sedangkan kalimat (3) mempunyai
referensi generic, tidak merujuk kepada sesuatu yang khusus, dan lebih
menekankan pada sesuatu yang umum.
G. Deiksis
Deiksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitanerat
dengan konteks penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari
penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis
deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu. Ketiga jenis
deiksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis
dan pembaca, yang berada di dalam konteks yang sama.
a. Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relative penutur dan
mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya,
kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan
dengan ini dan itu. Marilah kita lihat contoh berikut. A dan B sedang terlibat
di dalam percakapan. A mengambil sepotong kue dan mengatakan, “Kue ini enak.”
Apa yang ditunjuk oleh A, kue ini, tentu akan disebut B sebagai kue itu. Hal
ini terjadi karena titik tolak A dan B berbeda. Kita juga mengenal kata-kata
seperti di sini, di situ dan ini merujuk kepada sesuatu yang kelihatan atau
jaraknya terjangkau oleh penutur. Selain itu, ada kata-kata seperti di sana dan
itu yang merujuk pada sesuatu yang jauh atau tidak kelihatan, atau jaraknya
tidak terjangkau oleh penutur. Dalam hal tertentu, tindakan kita sering kali
bertalian dengan ruang. Jika kita hendak menunjukkan bagaimana cara mengerjakan
sesuatu, misalnya kita memakai kata begini. Jika kita hendak merujuk kepada
suatu tindakan., kita memakai kata begitu.
b. Deiksis Persona
Deiksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk
pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal
orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam
bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk
jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang pertama Orang kedua Orang ketiga aku,
saya engkau, kau, kamu, anda ia, dia, beliau kami, kita kamu, kalian mereka
Kadang-kadang penutur bahasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. Di antara
penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kamu atau saya,
melaikan juga Bapak, Ibu, atau Saudara.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relative penutur atau
penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa
berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu.
Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan
dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin
dan besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran
diucapkan.
KESIMPULAN
Semantik dan pragmatik merupakan salah satu
cabang ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik. Dalam semantik kita
mengenal yang disebut klasifikasi makna, relasi makna, erubahan makna, analisis
makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan dalam pragmatik kita mengenal yang
disebut interaksi dan sopan santun, implikatur percakapan, pertuturan,
referensi dan inferensi serta deiksis. Dengan demikian dapat kita simpulkan
bahwa pragmatik berhubungan dengan pemahaman kita terhadap hal-hal di luar bahasa.
Akan tetapi, hal-hal yang dibicarakan di dalam pragmatik sangat erat pula
kaitannya dengan hal-hal di dalam bahasa. Adapun semantik adalah subdisiplin
linguistik yang membicarakan makna yaitu makna kata dan makna kalimat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar